Kamis, 18 Juni 2015

Tanpa Kocai, Mendoan Kurang Afdol

Bagi pecinta mendoan tentu pernah merasakan mendoannya kurang sip rasanya. Ada bau dan rasa khas yang hilang dari mendoan itu. Kalo kita ngomong bau dan rasa mungkin tidak bisa digambarkan atau teramat sulit untuk dijabarkan.
Tapi aku yakin kalo dulur pasti bisa membedakan mana mendoan yang menggunakan kocai atau tidak. Memang, sebagian peramu tempe mendoan menggantikan kocai dengan daun bawang. Hampir mirip sih. Namun tetap kurang maknyus.
Tanaman yang meyerupai rerumputan berdaun kecil pipih memanjang ini sering kita jumpai di pasar penjaja sayur. Harganya tidaklah mahal. Seribu rupiah sudah dapat seikat. Murah tapi luar biasa manfaatnya.


Selain untuk tempe mendoan, pecinta mi ongklok khas Wonosobo juga pasti akan mendapatkan potongan kocai disana. Ealaaah... lagi puasa kok malah ngomongin makanan. Baik lah kita putar arah ya dulur.
Belajar dari kocai, kita selayaknya bisa mendapatkan banyak ibroh dan bisa belajar bahwa penghargaan atas apa yang kita terima bukanlah segala-galanya. Penghargaan atau harga atas sesuatu belum tentu menjadikan parameter utama atas kualitas sesuatu. Kocai, walaupun kecil tapi sangat dibutuhkan ketika akan membuat mendoan atau mi ongklok seperti diatas. Kocai tidak bisa digantikan dengan sesuatu yang mahal contohnya daun pintu, daun jendela hahaha...
Dulur, sering kali kita tidak boleh mengukur seseorang dengan harga dan harta dunia. Ada sebuah kisah nyata yang bisa membolak-balikkan perasaan kita tatkala kita bandingkan dengan diri kita.
Di sebuah komplek ada masjid yang masih dalam proses pembangunan. Komplek itu lumayan lah. Menengah ke atas. Panitia pembangunan tersebut sudah dipusingkan dengan belum selesainya pembangunan itu. Sudah mencari dana kian kemari, mengirim proposal ke donatur-donatur. Tapi tak juga selesai. Masih kurang 500 jutaan lagi. Karena saking susahnya mencari dana sehingga panitia hanya menerima infaq shodaqoh bagi yang bersedia.
Pada suatu siang yang terik ada seorang bapak tua turun dari becak mencari panitia pembangunan tersebut. Anggaplah  panitia itu pak Anwar namanya. Si bapak tua menemui pak Anwar dan menanyakan perihal pembangunan masjid tersebut. Si bapak tua memperkenalkan diri dengan nama Dullah (bukan nama sebenarnya).
Ketika pak Dullah menanyakan jumlah kekurangan biaya pembangunan masjid, pak Anwar menjawab dengan datar tanpa ekspresi yang simpatik. "Masih kaurang 500 juta, pak".
"Baik pak, in syaa Alloh saya akan menyumbang 500 juta tersebut. Mudah-mudahan masjid itu bisa selesai." Kata pak Dullah. Nglindur nih orang, batin pak Anwar. Gimana mau nyumbang 500 juta? kesini saja naik becak.
"Tapi saya nyumbangnya di kantor KUA yang pak, biar ada saksi. Karena bagaimanapun juga harus ada serah terima secara resmi. Kira-kira kapan pak Anwar punya waktu?" Tanya pak Dullah.
"Terserah bapak saja. Mungkin besok sabtu jam 11 pak?" Kata pak Anwar tidak bersemangat melayani pembicaraan itu. Tampang kaya saja gak ada, kok mau nyumbang segitu banyaknya. Apes amat hari ini ya?! Batin pak Anwar.
"Baik pak Anwar, saya tunggu hari sabtu jam 11 di KUA. Sampai jumpa pak." Pak Dullah pamitan dan tak lupa mint no hp pak Anwar.
Singkat cerita, sampailah pada hari sabtu yang dijanjikan. Pak Anwar sungguh tidak bergairah menumui pak Dullah di KUA. Kebetulan ada temannya, pak Iwan mengajak pak Anwar untuk menemaninya mengambil mobil kijang baru di showroom toyota jam 10. Baru beli mobil critanya. Pak Anwar langsung menyanggupi. Pulang dari showroom, dengan menaiki mobil kijang baru kinyis-kinyis, pak Anwar minta ke pak Iwan untuk mampir ke KUA. Ceritalah dia perihal pak Dullah yang mau meyumbang masjid dan sudah janjian jam 11.
Begitu sampai, teryata pak Dullah belum kelihatan. Jamnya sudah lewat dari yang dijanjikan. Pak Anwar sudah tidak sabar menunggu. "Paling orang itu bohong, pak Iwan." Kata pak Awar. "Tunggu saja sebentar!" Pinta pak Iwan. Dengan sedikit mendongkol pak Anwar bersedia menunggu barang beberapa waktu.
Tak lama, pak Dullah yang ditunggu datang dengan menaiki becak dengan membawa tas ransel butut.
Pak Anwar njawil pak Iwan. "Tuh orangnya." Kata pak Anwar datar.
"Assalamu'alaikum pak Anwar. Mohon maaf terlambat, karena tadi ada sedikit halangan." Kata pak Dullah sambil tersenyum.
Pak Anwar menjawab salam dan hanya membalas dengan senyum kecut.
"Kita langsung ke pak Kepala ya pak Anwar. Saya sudah janjian dengan beliau kemarin." Ajak pak Dullah. Pak Anwar hanya diam dan sedikit terkejut. Sudah janjian dengan kepala KUA? Beneran nih orang? Batin pak Anwar.
Pak anwar dan pak Iwan berjalan di belakan pak Dullah menuju ruangan Kepala KUA. Pak Dullah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Ada jawaban salam dari dalam. Mereka bertiga segera masuk. Ternyata di ruangan itu sudah ada beberapa orang selain kepala KUA itu sendiri.
"Silakan masuk pak Dullah. Kami sudah menyiapkan saksinya." Kata kepala KUA.
Tanpa menunggu lama, pak Dullah segera mengeluarkan isi tas rangsel buntut yang tadi keliatan berat dibawanya. Ternyata isinya ada uang 50 pak @10 juta. Pak Anwar dan pak Iwan tak bisa berkata apa-apa. Meraka hanya bisa beristighfar.
"Pak kepala, uangnya mau dihitung dulu?" Tanya pak Dullah.
"Tidak usah pak, in sya Alloh saya percara kepada pak Dullah." Jawab kepala singkat. "Atau pak Anwar mau menghitung ulang? Itu masih ada segel dari banknya." Lanjut kepala.
"E e e.... tidak usah pak." Kata pak Anwar tergagap.
Prosesi serah terima dan tanda tangan para saksi selesai. Uang dan ranselnya diserahkan ke pak Anwar. Sertifikatnya diserahkan ke pak Dullah.
"Alhamdulillah sudah selesai. Terima kasih pak Dullah dan pak Anwar sudah datang kemari. Dan serah terimanya juga sudah beres. Mudah-mudahan apa yang diberikan pak Dullah dapat menyelesaikan sisa pembangunan masjid." Kata kepala. "Pak Dullah ini adalah petani kopi." Lanjut kepala.
"Mengapa bapak menginfakkan uang sedemikian banyak nya? Padahal saya liat tadi bapak naik becak?" Tanya pak Anwar penasaran.
Agak ragu pak Dullah menjawab.
"Sebetulnya saya tidak ingin cerita. Tapi agar tidak ada kesalahpahaman dan mudah-mudahan ada manfaatnya, saya adalah petani kopi. Alhamdulillah anak-anak saya sudah mandiri semua. Saya sekeluarga sudah naik haji. Dan Alhamdulillah masih dikaruniai banyak rezeki. Dari pada saya belikan mobil mewah, toh nanti yang akan merasakan hanya saya sendiri. Dan itu tidak saya butuhkan. Kalo untuk membangun masjid, in syaa Alloh banyak orang yang bisa memanfaatkan. Mudah-mudahan itu bisa memberikan kebaikan untuk kita bersama." Papar pak Dullah.
Deg. Semua diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Akhirnya pak Dullah pamitan. Disusul pak Anwar dan pak Iwan.
Kembali, pak Dullah menaiki becak yang dia sewa tadi. Sungguh tidak nampak sebagai orang yang mampu menginfakkan 500 juta.
Pak Anwar dan pak Iwan didalam mobil kijang kinyis-kinyis seraya tak mampu mendahului becak yang dinaiki pak Dullah.  Terutama pak Anwar yang telah mengganggap pak Dullah hanya sebagai orang yang nglindur, alias mimpi disiang bolong.
Dulur, itu pelajaran yang luar biasa. Kualitas seseorang tidak bisa dilihat diri tampilannya. Untuk menjadi dermawan tidak harum mempunya berbagai macam harta benda dulu. Marilah kita berusaha sebaik mungkin meniru pak Dullah maupun belajar dari kocai.
Demikian dulur, semoga bermanfaar. Monggo....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar