Kamis, 18 Juni 2015

Kaos Lampu Petromak Obat Luka Kaki Bapakku

Tak terasa sudah lama bapakku meninggalkan kami, menghadap Robbul 'Izati. Namun kenangan manis bersamanya tak pernah luntur dari ingatanku. Banyak kisah mengagumkan yang menggambarkannya sebagai orang yang kuat dalam berjuang demi anak-anaknya berhasil dan sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari. Padahal beliau hanya sebagai buruh tani dan tukang nggergaji kayu. Buruh tani karena sebagian sawah yang digarapnya adalah milik orang lain dan dan mendapatkan setengah dari hasil panen. Orang kampung sering menyebutnya maro, berasal dari kata separo yang artinya setengah. Dan alhamdulillah bisa menjadikan aku seperti ini. Kuteringat sebuah kejadian yang membuat beliau harus beristirahan beberapa hari, tidak pergi ke sawah. Seingatku waktu itu aku masih kelas 2 SD.
Suatu ketika di sore hari, bapakku selesai merapikan pematang sawah yang sudah dialiri air, karena sawah akan ditanami padi kembali. Nggalengi istilahnya. Selesai bebersih, beliau memanggul cangkul dan membawa sabit. Karena pematangnya masih belum kuat diinjak, maka beliau melewati  sawah lek Sapar yang sudah digalengi juga. Ditengah sawah ada tumpukan damen atau jerami. Sebagiannya terendam air. Beliau pun melangkahkan kaki diatas tumpukan damen tersebut dan.... kress....
Kakinya menginjak cangkul yang disembunyikan lek Sapar di bawah damen tadi. Luka menganga besar antara jempol dan jari tengah kaki. Darah mengucur deras. Beliau cuma mengucap "innalillahi...".  Terlihat cangkul tajam menyembul diantara jerami. Dengan tertatih beliau mendekati pohon pisang dan mengambil sebagian batangnya untuk mengikat luka tersebut. Lumayan buat menahan agar darah tidak keluar terlalu banyak. Jarak sawah dengan rumah kira-kira 1 km. Dengan berjalan kali, beliau tertatih-tatih pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah diam-diam beliau membersihkan lukanya di kamar mandi kemudian mencari lampu petromak. Diambil kaos lampunya, dihancurkan dan ditambalkan ke lukanya. Alhamdulillah darah tidak keluar lagi. Kaos lampu, sebutan kami di kampung adalah kain yang terbakar didalam petromak dan berlaku sebagai bola lampu.

Kejadian itu ternyata sudah tersebar ke penduduk kampung dari orang yang melihat beliau pulang dari sawah. Dan sehabis maghrib mulai berdatangan orang-orang menengok beliau. Aku juga baru tau ketika mereka pada datang ke rumah. Dan beliau menceritakan kejadian itu. Ada yang menyayangkan lek Sapar sembarangan menyimpan cangkul, ada yang mendoakan biar cepat sembuh dan ada yang tanya obat yang dipakai untuk menutup luka itu. Karena lumayan mujarab. Terlepas dari rekomendasi para dokter, kaos lampu menjadi obat luka kaki bapakku.
Itulah dulur, sekelumit kisah mengenang bapakku tercinta, semoga belaiu mendapatkan yang terbaik di sisi-Nya. Aamiin.
Sampai berjumpa dicoretan yang akan datang, dulur. Monggo....

Tanpa Kocai, Mendoan Kurang Afdol

Bagi pecinta mendoan tentu pernah merasakan mendoannya kurang sip rasanya. Ada bau dan rasa khas yang hilang dari mendoan itu. Kalo kita ngomong bau dan rasa mungkin tidak bisa digambarkan atau teramat sulit untuk dijabarkan.
Tapi aku yakin kalo dulur pasti bisa membedakan mana mendoan yang menggunakan kocai atau tidak. Memang, sebagian peramu tempe mendoan menggantikan kocai dengan daun bawang. Hampir mirip sih. Namun tetap kurang maknyus.
Tanaman yang meyerupai rerumputan berdaun kecil pipih memanjang ini sering kita jumpai di pasar penjaja sayur. Harganya tidaklah mahal. Seribu rupiah sudah dapat seikat. Murah tapi luar biasa manfaatnya.


Selain untuk tempe mendoan, pecinta mi ongklok khas Wonosobo juga pasti akan mendapatkan potongan kocai disana. Ealaaah... lagi puasa kok malah ngomongin makanan. Baik lah kita putar arah ya dulur.
Belajar dari kocai, kita selayaknya bisa mendapatkan banyak ibroh dan bisa belajar bahwa penghargaan atas apa yang kita terima bukanlah segala-galanya. Penghargaan atau harga atas sesuatu belum tentu menjadikan parameter utama atas kualitas sesuatu. Kocai, walaupun kecil tapi sangat dibutuhkan ketika akan membuat mendoan atau mi ongklok seperti diatas. Kocai tidak bisa digantikan dengan sesuatu yang mahal contohnya daun pintu, daun jendela hahaha...
Dulur, sering kali kita tidak boleh mengukur seseorang dengan harga dan harta dunia. Ada sebuah kisah nyata yang bisa membolak-balikkan perasaan kita tatkala kita bandingkan dengan diri kita.
Di sebuah komplek ada masjid yang masih dalam proses pembangunan. Komplek itu lumayan lah. Menengah ke atas. Panitia pembangunan tersebut sudah dipusingkan dengan belum selesainya pembangunan itu. Sudah mencari dana kian kemari, mengirim proposal ke donatur-donatur. Tapi tak juga selesai. Masih kurang 500 jutaan lagi. Karena saking susahnya mencari dana sehingga panitia hanya menerima infaq shodaqoh bagi yang bersedia.
Pada suatu siang yang terik ada seorang bapak tua turun dari becak mencari panitia pembangunan tersebut. Anggaplah  panitia itu pak Anwar namanya. Si bapak tua menemui pak Anwar dan menanyakan perihal pembangunan masjid tersebut. Si bapak tua memperkenalkan diri dengan nama Dullah (bukan nama sebenarnya).
Ketika pak Dullah menanyakan jumlah kekurangan biaya pembangunan masjid, pak Anwar menjawab dengan datar tanpa ekspresi yang simpatik. "Masih kaurang 500 juta, pak".
"Baik pak, in syaa Alloh saya akan menyumbang 500 juta tersebut. Mudah-mudahan masjid itu bisa selesai." Kata pak Dullah. Nglindur nih orang, batin pak Anwar. Gimana mau nyumbang 500 juta? kesini saja naik becak.
"Tapi saya nyumbangnya di kantor KUA yang pak, biar ada saksi. Karena bagaimanapun juga harus ada serah terima secara resmi. Kira-kira kapan pak Anwar punya waktu?" Tanya pak Dullah.
"Terserah bapak saja. Mungkin besok sabtu jam 11 pak?" Kata pak Anwar tidak bersemangat melayani pembicaraan itu. Tampang kaya saja gak ada, kok mau nyumbang segitu banyaknya. Apes amat hari ini ya?! Batin pak Anwar.
"Baik pak Anwar, saya tunggu hari sabtu jam 11 di KUA. Sampai jumpa pak." Pak Dullah pamitan dan tak lupa mint no hp pak Anwar.
Singkat cerita, sampailah pada hari sabtu yang dijanjikan. Pak Anwar sungguh tidak bergairah menumui pak Dullah di KUA. Kebetulan ada temannya, pak Iwan mengajak pak Anwar untuk menemaninya mengambil mobil kijang baru di showroom toyota jam 10. Baru beli mobil critanya. Pak Anwar langsung menyanggupi. Pulang dari showroom, dengan menaiki mobil kijang baru kinyis-kinyis, pak Anwar minta ke pak Iwan untuk mampir ke KUA. Ceritalah dia perihal pak Dullah yang mau meyumbang masjid dan sudah janjian jam 11.
Begitu sampai, teryata pak Dullah belum kelihatan. Jamnya sudah lewat dari yang dijanjikan. Pak Anwar sudah tidak sabar menunggu. "Paling orang itu bohong, pak Iwan." Kata pak Awar. "Tunggu saja sebentar!" Pinta pak Iwan. Dengan sedikit mendongkol pak Anwar bersedia menunggu barang beberapa waktu.
Tak lama, pak Dullah yang ditunggu datang dengan menaiki becak dengan membawa tas ransel butut.
Pak Anwar njawil pak Iwan. "Tuh orangnya." Kata pak Anwar datar.
"Assalamu'alaikum pak Anwar. Mohon maaf terlambat, karena tadi ada sedikit halangan." Kata pak Dullah sambil tersenyum.
Pak Anwar menjawab salam dan hanya membalas dengan senyum kecut.
"Kita langsung ke pak Kepala ya pak Anwar. Saya sudah janjian dengan beliau kemarin." Ajak pak Dullah. Pak Anwar hanya diam dan sedikit terkejut. Sudah janjian dengan kepala KUA? Beneran nih orang? Batin pak Anwar.
Pak anwar dan pak Iwan berjalan di belakan pak Dullah menuju ruangan Kepala KUA. Pak Dullah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Ada jawaban salam dari dalam. Mereka bertiga segera masuk. Ternyata di ruangan itu sudah ada beberapa orang selain kepala KUA itu sendiri.
"Silakan masuk pak Dullah. Kami sudah menyiapkan saksinya." Kata kepala KUA.
Tanpa menunggu lama, pak Dullah segera mengeluarkan isi tas rangsel buntut yang tadi keliatan berat dibawanya. Ternyata isinya ada uang 50 pak @10 juta. Pak Anwar dan pak Iwan tak bisa berkata apa-apa. Meraka hanya bisa beristighfar.
"Pak kepala, uangnya mau dihitung dulu?" Tanya pak Dullah.
"Tidak usah pak, in sya Alloh saya percara kepada pak Dullah." Jawab kepala singkat. "Atau pak Anwar mau menghitung ulang? Itu masih ada segel dari banknya." Lanjut kepala.
"E e e.... tidak usah pak." Kata pak Anwar tergagap.
Prosesi serah terima dan tanda tangan para saksi selesai. Uang dan ranselnya diserahkan ke pak Anwar. Sertifikatnya diserahkan ke pak Dullah.
"Alhamdulillah sudah selesai. Terima kasih pak Dullah dan pak Anwar sudah datang kemari. Dan serah terimanya juga sudah beres. Mudah-mudahan apa yang diberikan pak Dullah dapat menyelesaikan sisa pembangunan masjid." Kata kepala. "Pak Dullah ini adalah petani kopi." Lanjut kepala.
"Mengapa bapak menginfakkan uang sedemikian banyak nya? Padahal saya liat tadi bapak naik becak?" Tanya pak Anwar penasaran.
Agak ragu pak Dullah menjawab.
"Sebetulnya saya tidak ingin cerita. Tapi agar tidak ada kesalahpahaman dan mudah-mudahan ada manfaatnya, saya adalah petani kopi. Alhamdulillah anak-anak saya sudah mandiri semua. Saya sekeluarga sudah naik haji. Dan Alhamdulillah masih dikaruniai banyak rezeki. Dari pada saya belikan mobil mewah, toh nanti yang akan merasakan hanya saya sendiri. Dan itu tidak saya butuhkan. Kalo untuk membangun masjid, in syaa Alloh banyak orang yang bisa memanfaatkan. Mudah-mudahan itu bisa memberikan kebaikan untuk kita bersama." Papar pak Dullah.
Deg. Semua diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Akhirnya pak Dullah pamitan. Disusul pak Anwar dan pak Iwan.
Kembali, pak Dullah menaiki becak yang dia sewa tadi. Sungguh tidak nampak sebagai orang yang mampu menginfakkan 500 juta.
Pak Anwar dan pak Iwan didalam mobil kijang kinyis-kinyis seraya tak mampu mendahului becak yang dinaiki pak Dullah.  Terutama pak Anwar yang telah mengganggap pak Dullah hanya sebagai orang yang nglindur, alias mimpi disiang bolong.
Dulur, itu pelajaran yang luar biasa. Kualitas seseorang tidak bisa dilihat diri tampilannya. Untuk menjadi dermawan tidak harum mempunya berbagai macam harta benda dulu. Marilah kita berusaha sebaik mungkin meniru pak Dullah maupun belajar dari kocai.
Demikian dulur, semoga bermanfaar. Monggo....



Rabu, 17 Juni 2015

Anda Malas? Banyak Yang Lepas

Anget-anget tai ayam. Sebuah ungkapan yang bukan tak mempunyai dasar. Kebanyakan kita sulit sekali berbuat istiqomah alias kontinyu bin terus menerus. Walau hal kecil dan dianggap sepele.
Apresiasi yang luar biasa kuberikan kepada dulur yang bisa istiqomah dalam menjalankan kebaikan yang tak pudar oleh waktu.
Ada seorang kakek yang senantiasa memberikan uang saku ala kadarnya kepada anak-anak yang dijumpainya di depan rumahnya dan si anak tidak diberikan uang saku oleh orang tuanya. Itu dilakukan si kakek sudah puluhan tahun. Padahal kerjaannya juga ala kadarnya. Bukan orang kaya bukan pulan orang yang kecukupan. Namun ketika ada rezeki selalu dilakukan oleh si kakek. Luar biasa.
Ada pula tukang becak yang senantiasa di setiap hari jumat tidak pernah menerima bayaran atas jasa yang diberikannya. Dia bertekat untuk berinfaq  dengan versinya sendiri. Subhanalloh. Padahal sekali lagi, si tukang becak juga bukan orang yang mampu atawa serba ada. Istrinya hanya seorang penjaja gorengan. Luar biasa.
Kisah mbah Sholeh penjaga dan tukang bersih mesjid di Ampeldento, pondok pesantren asuhan Sunan Ampel jaman dulu. Beliau selalu melakukan tugasnya dengan semaksimal mungkin. Tidak akan dibiarkan ada kotoran sedikitpun nempel di masjid. Keberadaannya memang tidak begitu dianggap oleh santri-santri lainnya. Tapi begitu Mbah Sholeh meninggal, baru mereka merasakan keberadaan mbah Sholeh yang luar biasa. Masjidpun tidah sebersih dahulu. Sampah dari dedaunan maupun lumut mulai berani menampakkan diri. Sampai-sampai sang Sunan sendiri merasa kehilangan mbah Sholeh.
Dulur, tatkala kita bisa melaksanakan kebaikan secara istiqomah, pasti hasilnya akan luar biasa. Berat memang. Tapi itu adalah amalan yang disukai. Rosul saja lebih menyukai amalan yang sedikit tapi istiqomah dilakukan. Malas adalah musuh utama. Setiap orang akan mengalami atau dihinggapi rasa malas. Namun orientasi masa depan dan semangat yang kuat bisa menepis si malas. Si malas senantiasa mengikuti kemana kita pergi. Namun benteng yang kuat dari diri kita akan tetap menjadi penghalan si malas mempengaruhi. Benteng bisa kita ciptakan. Kuat atau rapuhnya tergantung seberapa kuat kita membangun dan senantiasa menjaganya.
Ketika kita mulai beraktifitas dan kita lupa akan rencana kebaikan yang kita lakukan, itu sudah menjadi tanda si malas mulai mempengaruhi kita.


Eling lan waspodo sangat perlu untuk kita tetap sadar akan latenisme malas.
Mononggo dulur, tetap semangat dalam berbuat kebaikan, tetap belajar istiqomah, si malas kita buat sebagai selingan yang tidak melenakan. Ketika HP kita cas, tentu ianya istirahat dari dominasi kita. Tapi ketika sudah penuh, siap untuk digunakan semaksimal mungkin.

Demikian dulur, mudah-mudahan bermanfaat. Sampai jumpa di kesempatan lainnya. Monggo..